PILIHAN
Memerang informasi Hoaks Sebelum Perhelatan Pemilihan Presiden 2019
Dumai (PantauNews) Pemerintah dan masyarakat perlu bahu-membahu memerangi informasi yang sesat dan menyesatkan terlebih mendekati perhelatan pemilihan presiden 2019, berbagai kabar bohong (hoaks) mulai merebak padahal pemilih memerlukan informasi yang benar serta relevan tentang rekam jejak para kandidat dan program mereka.
Riset Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia dari Juli hingga September lalu menemukan tak kurang dari 230 kabar bohong beredar di masyarakat. Sekitar 58,7 persen di antaranya berkaitan dengan pemilihan presiden. Sebagian besar menyudutkan calon lawan. Sisanya berusaha membangun citra positif calon tertentu lewat klaim palsu.
Masalahnya, sejumlah riset di beberapa negara menunjukkan kabar bohong yang terus disebar bisa dianggap sebagai kebenaran. Penyebabnya, para penyebar hoaks sangat ahli menyamarkan kebohongan.
Pemilih yang kurang kritis pun mudah terjebak dalam "bias konfirmasi". Mereka cenderung mencari informasi yang mengukuhkan keyakinan atau pilihan politiknya sendiri tanpa menguji kebenaran informasi tersebut.
Hoaks politik sejatinya tak hanya merugikan pihak yang diserang. Berkaca pada pemilihan presiden 2014, hoaks bermuatan fitnah dan ujaran kebencian terbukti memicu perpecahan di kalangan masyarakat. Untung saja, meski sempat memanas, suhu politik setelah pemilu presiden 2014 bisa kembali ke titik normal.
Hoaks dan ujaran kebencian kembali membahayakan proses demokrasi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sepanjang 2017, sekitar 760 ribu kabar palsu dan ujaran kebencian kembali berseliweran di media sosial. Dampaknya, hingga kini, relasi antar-warga Ibu Kota yang sempat memburuk belum benar-benar pulih.
Hoaks harus diberantas. Cara paling sederhana yang bisa dilakukan semua orang adalah tidak menyebarkan informasi apa pun sebelum memastikan kebenaran serta kredibilitas sumbernya. Ikhtiar lebih serius dilakukan sejumlah media dan kelompok masyarakat 49 dengan mengecek kebenaran informasi kontroversial yang telanjur viral. Hal itu layak mendapat apresiasi.
Namun inisiatif masyarakat saja tak cukup. Pemerintah harus berada di garda terdepan dalam memberantas hoaks. Sebab, hanya pemerintah yang punya instrumen untuk menutup situs atau akun penyebar hoaks sekaligus menghukum pelakunya.
Agar perang melawan hoaks efektif, para pemilih juga harus membebaskan diri dari fanatisme buta. Toh, yang bertanding pada Pemilu 2019 bukanlah "malaikat" melawan "setan", sehingga tak perlu didukung atau dilawan habis-habisan. Hadapilah kontestasi politik rutin ini dengan rileks. Dalam setiap perlombaan politik, menang-kalah adalah hal biasa.
Riset Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia dari Juli hingga September lalu menemukan tak kurang dari 230 kabar bohong beredar di masyarakat. Sekitar 58,7 persen di antaranya berkaitan dengan pemilihan presiden. Sebagian besar menyudutkan calon lawan. Sisanya berusaha membangun citra positif calon tertentu lewat klaim palsu.
Masalahnya, sejumlah riset di beberapa negara menunjukkan kabar bohong yang terus disebar bisa dianggap sebagai kebenaran. Penyebabnya, para penyebar hoaks sangat ahli menyamarkan kebohongan.
Pemilih yang kurang kritis pun mudah terjebak dalam "bias konfirmasi". Mereka cenderung mencari informasi yang mengukuhkan keyakinan atau pilihan politiknya sendiri tanpa menguji kebenaran informasi tersebut.
Hoaks politik sejatinya tak hanya merugikan pihak yang diserang. Berkaca pada pemilihan presiden 2014, hoaks bermuatan fitnah dan ujaran kebencian terbukti memicu perpecahan di kalangan masyarakat. Untung saja, meski sempat memanas, suhu politik setelah pemilu presiden 2014 bisa kembali ke titik normal.
Hoaks dan ujaran kebencian kembali membahayakan proses demokrasi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sepanjang 2017, sekitar 760 ribu kabar palsu dan ujaran kebencian kembali berseliweran di media sosial. Dampaknya, hingga kini, relasi antar-warga Ibu Kota yang sempat memburuk belum benar-benar pulih.
Hoaks harus diberantas. Cara paling sederhana yang bisa dilakukan semua orang adalah tidak menyebarkan informasi apa pun sebelum memastikan kebenaran serta kredibilitas sumbernya. Ikhtiar lebih serius dilakukan sejumlah media dan kelompok masyarakat 49 dengan mengecek kebenaran informasi kontroversial yang telanjur viral. Hal itu layak mendapat apresiasi.
Namun inisiatif masyarakat saja tak cukup. Pemerintah harus berada di garda terdepan dalam memberantas hoaks. Sebab, hanya pemerintah yang punya instrumen untuk menutup situs atau akun penyebar hoaks sekaligus menghukum pelakunya.
Agar perang melawan hoaks efektif, para pemilih juga harus membebaskan diri dari fanatisme buta. Toh, yang bertanding pada Pemilu 2019 bukanlah "malaikat" melawan "setan", sehingga tak perlu didukung atau dilawan habis-habisan. Hadapilah kontestasi politik rutin ini dengan rileks. Dalam setiap perlombaan politik, menang-kalah adalah hal biasa.
sumber :Media Tempo



Berita Lainnya
Heboh Penemuan Mayat Perempuan di Kamar Wisma Elite
Sempat Diikuti 4 Calon Ketua, Akhirnya Iwang Terpilih Secara Aklamasi
Peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia Pertagas Tanam 1.000 Pohon Mangrove di Dumai
Bersama Walikota Solo, Kapolri Tinjau Vaksinasi Dosen dan Pemuka Lintas Agama
TPQ AL-Ansor Kota Tangerang akan Menggelar Lomba Prakarya 3 Dimensi
Mendagri Lantik Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar
Jumat Curhat, Bukti Polri Hadir Ditengah Masyarakat
Wakil Ketua DPRD Kota Tangerang: Adanya Dugaan Permainan Sistem PPDB Online Harus Bisa Dibuktikan
Bukan Salah Ketik, Ini Penjelasan Terbaru Pemprov DKI soal Lem Aibon Rp 82 M
Sertijab Kapolsek Peranap, Kapolres: Saya Kenal Betul Iptu Bahagia Ginting
Tim Kelurahan Sukajadi Dumai Kota Siap Menangkan Paisal-Sugiarto untuk Dua Periode
KSKP Dumai Gelar Kegiatan Jumat Berkah, Wadah Komunikasi Bagi Masyarakat