
Ales Saprijon, tokoh muda berpengaruh di Kota Dumai sekaligus Ketua PAC PDI Perjuangan Dumai Timur
PANTAUNEWS, DUMAI – Kasus sengketa tanah yang tengah memanas di Kelurahan Bintan, Kecamatan Dumai Kota, antara Inong Fitriani dan Toton Sumali, menuai sorotan tajam dari Ales Saprijon, tokoh muda berpengaruh di Kota Dumai sekaligus Ketua PAC PDI Perjuangan Dumai Timur.
Dalam pernyataannya kepada media saat ditemui di kediamannya, Rabu (14/5/2025), Ales menilai keterlibatan organisasi atau simpatisan dalam kasus tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.
“Organisasi seharusnya menjadi pilar moral masyarakat, bukan malah menjadi alat intervensi dalam proses hukum yang sedang berjalan,” tegas Ales.
Sengketa ini menyeruak ke publik setelah Toton Sumali melaporkan Inong Fitriani ke pihak berwajib atas dugaan penguasaan lahan tanpa hak. Kasus itu kini memasuki babak baru setelah Inong ditahan oleh pihak kepolisian, menyusul hasil penyidikan awal yang mengindikasikan adanya unsur pidana.
Menurut Ales, dukungan terbuka terhadap pihak yang status kepemilikannya belum sah secara hukum justru dapat merusak tatanan hukum dan menciptakan konflik sosial baru.
“Kalau belum ada sertifikat resmi atau pengakuan dari BPN, maka posisi hukumnya lemah. Jangan sampai masyarakat disesatkan oleh klaim sepihak yang tak punya dasar hukum kuat,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa organisasi maupun simpatisan yang terlibat seharusnya berhati-hati dalam bersikap. Tindakan mendukung tanpa dasar hukum yang sah bisa dianggap sebagai bentuk penghalangan terhadap proses hukum, apalagi jika sampai menimbulkan tekanan sosial atau intimidasi.
“Menyatakan sikap itu boleh, tapi jangan sampai menggantikan peran penegak hukum. Kita harus bedakan mana perjuangan sosial, mana proses hukum,” ujar Ales.
Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa dugaan pelanggaran seperti penyerobotan lahan, penguasaan tanpa hak, hingga pemalsuan dokumen merupakan pelanggaran serius sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP dan Undang-Undang Pertanahan.
Dalam pandangannya, proses penyelesaian kasus seperti ini harus melalui jalur hukum, bukan tekanan publik atau mobilisasi massa. Ales juga mengajak pemerintah daerah serta tokoh masyarakat untuk turut memediasi agar konflik tidak melebar ke ranah identitas.
“Hukum harus ditegakkan secara objektif, tanpa tekanan dari kelompok manapun, termasuk yang membawa nama adat atau budaya. Kalau tidak, kita akan kehilangan arah,” tutup Ales dengan nada serius.
Ales juga menambahkan, “Karena kasus ini sudah P21 yang mana telah dilimpahkan ke pengadilan, maka dari itu marilah kita bersama-sama melihat serta mengawal sidang terbuka itu.”