PANTAUNEWS, PEKANBARU — Di tengah derap modernisasi Kota Pekanbaru, kehidupan masyarakat tepian Sungai Siak (dulu dikenal sebagai Sungai Jantan) menyimpan kisah unik tentang ketegangan antara kemajuan dan tradisi. Meski jembatan-jembatan megah seperti Jembatan Siak I hingga IV telah menjadi simbol konektivitas, segelintir warga masih bertahan dengan cara hidup lama: menjadi nelayan atau penyeberang sampan.
Di ujung Jalan Sudirman, dekat Jembatan Siak IV, jejak sejarah Pelita Pantai masih tersisa. Di sana, beberapa perahu sampan tertambat di tepian, siap mengantar penumpang yang memilih rute singkat menyeberang sungai. Meski peminatnya kian sepi, para pendayung seperti Abdul Rahman (52) mengaku tetap bertahan.
"Ini warisan orangtua kami. Meski sekarang lebih sepi, masih ada warga sekitar atau pelancong yang ingin merasakan sensasi tradisional," ujarnya.
Jasa penyeberangan sampan ini dulunya menjadi tulang punggung transportasi sebelum jembatan dibangun. Kini, di bawah bayang-bayang Jembatan Siak I yang ramai dilintasi kendaraan, aktivitas itu lebih mirip lukisan hidup yang perlahan memudar.
Bagi generasi 1980-an, Sungai Siak adalah ruang bermain dan sumber kehidupan. Mandi, memancing udang, atau menyusuri sungai dengan sampan dari daerah Tampan hingga Jembatan Siak I menjadi ritual sore yang tak terlupakan.
"Dulu, di bawah balok kayu yang mengapung, kami bisa menjaring udang besar. Sekarang, airnya sudah berbeda," kenang Hasan Basri (60), warga yang telah puluhan tahun bermukim di tepian sungai.
Namun, Sungai Siak tak sepenuhnya kehilangan pesona. Di sore hari, kawasan sekitar Jembatan Siak I ramai dikunjungi warga yang menikmati jagung bakar sambil menatap kemerahan langit senja. Tak jauh dari situ, Wan Resto menjadi destinasi favorit untuk bersantai sambil menyeruput kopi, dengan pemandangan jembatan dan sampan-sampan yang lalu-lalang di kejauhan.
Pemerintah setempat mulai menggarap potensi wisata tepian sungai. Rumah Tuan Kadi, salah satu ikon bersejarah, kini menjadi titik kunjungan wisatawan. Sayangnya, perkembangan ini belum sepenuhnya menyelamatkan tradisi lokal.
"Kami ingin ada sinergi antara pembangunan dan pelestarian budaya sungai. Sampan bukan sekadar transportasi, tapi bagian dari identitas kami," tegas Sofyan, penulis sekaligus pemerhati lingkungan.
Di tengah gemuruh kemajuan, sampan-sampan yang masih setia tertambat di pinggir Sungai Siak menjadi saksi bisu pergulatan antara masa lalu dan masa kini. Mereka mengingatkan kita bahwa di balik megahnya jembatan dan gedung, ada denyut kehidupan yang bertahan dengan caranya sendiri.
Sungai Siak terus mengalir, membawa cerita dari masa ke masa. Di sini, modernisasi dan nostalgia tak selalu bertolak belakang—mereka berdampingan, seperti dua sisi mata uang yang sama.
Oleh: Sofyan | Dewan Pakar DPP RMB-LHMR/Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bengkalis